Ketahanan Pangan dan Paradoks Pembangunan Pertanian
Program ketahanan pangan dan produktivitas pangan memang mampu meningkatkan
kuantitas jumlah produksi..
Program ketahanan pangan dan produktivitas pangan memang mampu meningkatkan kuantitas jumlah produksi. Namun, tidak mengalami peningkatan pada aspek nilai produksi. Hal ini dapat kita lihat bahwa peningkatan produksi tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kelaparan dan gizi buruk. FAO menyatakan bahwa pada 2016 setidaknya 10,7% atau sekitar 815 juta orang di dunia mengalami gizi buruk. Demikian pula UNICEF, WHO, dan World Bank yang mengatakan bahwa pada 2017 ada sekitar 150 juta anak balita di dunia ini mengalami stunting.
Program ketahanan pangan dan produktivitas pangan memang mampu meningkatkan kuantitas jumlah produksi. Namun, tidak mengalami peningkatan pada aspek nilai produksi. Hal ini dapat kita lihat bahwa peningkatan produksi tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kelaparan dan gizi buruk. FAO menyatakan bahwa pada 2016 setidaknya 10,7% atau sekitar 815 juta orang di dunia mengalami gizi buruk. Demikian pula UNICEF, WHO, dan World Bank yang mengatakan bahwa pada 2017 ada sekitar 150 juta anak balita di dunia ini mengalami stunting.
Masyarakat yang mengalami
kelaparan dan stunting tersebut mayoritas dari negara
berkembang dan mereka dari keluarga miskin di perdesaan yang notabene dari
keluarga petani gurem dan buruh tani. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa
konsep pembangunan pertanian khususnya pertanian pangan masih memunculkan
paradoks.
Pembangunan pertanian
pangan hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas hasil saja. Produksi
pangan meningkat, tetapi orang kelaparan dan gizi buruk terus terjadi.
Parahnya, mereka yang mengalami rawan pangan adalah petani dan buruh tani yang
pada dasarnya adalah produsen pangan. Kuasa petani terhadap alat produksi makin
kecil dan bertolak belakang dibandingkan dengan perusahaan dan industri.
Industri tidak hanya menguasai input pertanian seperti pupuk,
benih, peralatan mekanis pengolah pertanian, namun juga menguasai lahan yang
sebelumnya menjadi ruang hidup petani.
Apabila
kita melihat dari kebijakan pemerintah melalui anggaran yang dialokasikan untuk
kedaulatan pangan memang sudah cukup besar. Pada periode tiga tahun (2014-2017)
anggaran yang dialokasikan pemerintah meningkat sebesar 53,2%. Pada 2014
anggaran kedaulatan pangan sebesar Rp 67,3 triliun, dan pada 2017 anggaran
mencapai Rp 103,1 triliun. Lebih dari separuh dari anggaran tersebut
dialokasikan untuk Kementerian Pertanian, Kementerian PU PERA, subsidi pupuk
dan benih, juga untuk program Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, dan
Kedelai). Namun, sayangnya kebijakan dan program tersebut belum mampu
mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan.
Meskipun klaim produksi
padi nasional meningkat hingga 81 juta ton pada 2017, tetapi kenyataannya impor
beras terus terjadi. Tercatat pada 2015 impor beras 861 ribu ton, pada 2016
meningkat menjadi 1,3 ton, menurun pada 2017 sebesar 256 ribu ton, dan
mengalami peningkatan yang drastis pada 2018 yaitu sebanyak 2 juta ton. Ketika
pendapatan kaum tani mengalami kemerosotan, baik karena tingginya biaya
produksi, di satu sisi dikarenakan melimpah-ruahnya impor juga menjadi pemicu
jatuhnya harga produk lokal, dan harga konsumen justru bergerak naik.
Gambaran tersebut
menunjukkan fakta bahwa kekuatan utama di balik naiknya harga sarana-sarana
pertanian, turunnya harga komoditi pertanian, dan tingginya harga pangan adalah
adanya kontrol secara monopoli dari perusahaan-perusahaan trans-nasional.
Hal yang paling mendasar
dalam kedaulatan pangan tentu saja permasalahan petani. Pangan tidak hanya soal
peningkatan produksi. Program dan kebijakan kedaulatan pangan masih menjadikan
petani dan buruh tani hanya sebagai objek yang justru meminggirkannya. Dalam
produksi pangan, mensyaratkan adanya demokrasi ekonomi, yang berarti bahwa hak
kaum tani untuk membuat keputusan dan mencari nafkah harus ditegakkan,
sementara elite dan korporasi masih mendominasi pasar pangan.
Persoalan petani dan pangan
tidak akan pernah usai apabila permainan harga komoditas pangan hasil pertanian
yang dilakukan korporasi masih terus terjadi. Saat ini, sistem pangan dan
pertanian global berada di bawah monopoli dan kekuasaan perusahaan raksasa yang
berada di balik upaya "barbar" memaksakan kebijakan ekonomi
neoliberal dan perdagangan bebas.
Hal tersebut tentu saja
memperburuk ekosistem mata pencarian jutaan orang di perdesaan serta
memperburuk wajah kemiskinan dan kelaparan yang terus terjadi. Ditambah dengan
upaya meningkatkan nilai ekspor dari perkebunan-perkebunan luas dikiranya
sebagai jalan terbaik untuk menghasilkan alat pembayaran luar negeri (valuta
asing) yang dibutuhkan untuk mengimpor pangan. Di lain sisi, posisi Indonesia
dengan WTO bersama perjanjian regional dan bilateral telah mengizinkan TNCs
(perusahaan agrochemical trans-nasional) untuk memegang
kekuasaan atas pasar pertanian dan pangan.
Sebenarnya, kedaulatan
pangan tidak menentang adanya perdagangan global, melainkan melawan
diberikannya prioritas kepada pasar sebagai wasit (pengatur dan penentu)
kebijakan pertanian dan pangan. Realitas tersebut telah menunjukkan bahwa akses
terhadap pasar global bukanlah solusi bagi kaum tani. Permasalahannya justru
terletak pada kurangnya akses terhadap pasar lokal mereka sendiri karena telah
dibanjiri oleh produk-produk luar yang lebih murah.
Alternatif jalan ketiga
bagi stakeholder terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, dll) adalah membuka pasar pangan lokal yang mengakomodasi
komoditas pangan hasil petani. Dalam hal ini rantai pasar distribusi yang
menjadikan permainan harga komoditas perlu diatur dengan skema yang memihak
pada petani sebagai produsen pangan. Tidak hanya berorientasi pada peningkatan
produktivitas saja, melainkan juga orientasi program pangan yang berbasis pada
komunitas dengan ditopang oleh program distribusi pangan nasional yang proaktif
dan berpihak pada produsen pangan (petani dan buruh).
Pemerintah melalui kebijakannya
juga harus mampu menjamin ketersediaan pangan yang cukup melalui usaha yang
efisien mendapatkan pangan dari dalam negeri. Sehingga program distribusi
pangan mampu menjangkau harga semua jenis pangan pokok, juga perlunya kontrol
yang efektif atas harga.
Pada
aspek lain, implementasi kedaulatan pangan harus mampu menempatkan kedaulatan
petani sebagai tujuan utama, dan bukan menjadikan petani hanya sebagai alat
produksi. Selain itu, perlu adanya indikator atau penanda kedaulatan pangan
yang menjadi acuan semua pihak. Hal ini menjadi penting sebagai arah dan
kebijakan kedaulatan pangan menjadi tersistematis dan terukur, serta menjadi
panduan dan penanda bagaimana kedaulatan pangan dapat diimplementasikan.
Kemudian,
disisi pemerintah. Kementan mengklaim menjalankan pendekatan bottom-up planning
dimulai dari identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani di
lapangan sebagai bagian penting dalam perumusan kebijakan dan program
pembangunan pertanian. Karena itu, kebijakan dan program yang dijalankan
Kementan didasarkan pada kondisi lapangan dan dilakukan melalui pendekatan
kesisteman (system approach).
Dari
pendekatan kesisteman tersebut, secara berturut-turut merevisi regulasi yang
menghambat, membangun infrastruktur, mekanisasi pertanian, perbaikan teknis
produksi, pendampingan dan penguatan SDM, penanganan pasca panen, serta
pengendalian harga adalah parameter pengungkit yang mendapat prioritas dalm
penyusunan program terobosan sesuai kebutuhan lapang.
Dalam
upaya mendongkrak produktivitas pangan nasional, Kementan senantiasa medorong
berbagai inovasi di sektor pertanian. Pengembangan inovasi yang dikembangkan
oleh Kementan memiliki syarat penting, yaitu memenuhi unsur pemenuhan kebutuhan
petani sebagai pengguna inovasi dan pelaku utama pertanian secara spesifik.
Referensi
:
Fuat
Edi Kurniawan (peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI)
detik.com
jurnas.com
0 comments