Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements
Teori Mobilisasi
Sumberdaya (The Resource Mobilization
Theory) merupakan kerangka
teoritik yang cukup dominan
dalam menganalisis gerakan
sosial dan tindakan kolektif (Buechler). Menurut Cohen
(Singh), para teoritisi mobilisasi sumberdaya (resource mobilization) mengawali dengan penolakan atas perhatian
terhadap peran dari perasaan (feelings)
dan ketidakpuasan (grievances)...
Resource Mobilization Theory berasumsi bahwa dalam suatu masyarakat dimana
muncul ketidakpuasan maka cukup memungkinkan
untuk memunculkan sebuah
gerakan sosial. Faktor organisasi
dan kepemimpinan merupakan
faktor yang dapat mendorong atau menghambat suatu gerakan
sosial (social movements). Menurut Oberschall
dalam Locher (2002), istilah mobilisasi (mobilization)
mengacu kepada proses pembentukan kerumunan, kelompok, asosiasi, dan organisasi
untuk mencapai suatu tujuan kolektif.
Klandermans (1984),
dengan mengutip pendapat
Oberschall, Gamson, Marx dan Wood, McCarthy dan Zald, dan Snow,
menyatakan bahwa Resource Mobilization
Theory (RMT) menekankan pada
pentingnya faktor-faktor struktural (structural factors), seperti
ketersediaan sumberdaya (the availibilty
of resources) untuk kolektivitas dan posisi individu dalam jaringan sosial,
serta menekankan rasionalitas tentang partisipasi dalam suatu gerakan
sosial.
Sumber daya dapat berupa barang dan
atau jasa yang diberikan untuk melaksanakan sebuah strategi, rencana, program,
proyek, atau aktivitas. Strategi mobilisasi sumber daya ialah rencana yang menjelaskan
bagaimana sebuah organisasi menyiapkan sumber daya untuk melaksanakan sebuah
proyek dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada waktunya. Pengembangan
strategi mobilisasi sumber daya biasanya merupakan salah satu langkah awal
dalam menyusun proposal pendanaan.
Jika sumber pendanaan dan sumber
daya lainnya tidak dapat diidentifikasi, maka mungkin kegiatan atau proyek yang
diajukan tidak dapat dilanjutkan. Strategi mobilisasi sumber daya dapat berada
di level strategi, rencana, dan kegiatan nasional; rencana dan strategi
sektoral; atau organisasi atau proyek individual.
Menurut Canel
dalam Triwibowo (2006), pendekatan Resource
Mobilization Theory (RMT) memusatkan analisisnya pada seperangkat proses kontekstual
(keputusan mengenai pengelolaan sumberdaya, dinamika organisasi, serta
perubahan politik) yang menciptakan
gerakan sosial untuk mengoptimalkan
potensi-potensi struktural yang dimiliki
guna mencapai tujuannya. Pendekatan
ini menganalisis bagaimana
para aktor gerakan sosial mengembangkan strategi dan berinteraksi dengan
lingkungannya untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Munculnya
gerakan sosial dan capaian dari aktivisme mereka dipandang sebagai
hasil dari proses
yang terbuka dan
dipengaruhi oleh serangkaian taktik, strategi dan keputusan tertentu
yang dipilih oleh para aktor dalam konteks relasi kuasa dan interaksi
konfliktual yang ada.
Pada penelitian
Mancul Olson (1965), Zald dan Ash (1966), McCarthy and Zald (1977), Anthony
Oberschall (1973, 1978), Charles Tilly (1978), dapat disimpulkan pada dasarnya
mereka memiliki pandangan bahwa ketidakpuasan tidak selalu melahirkan protes
karena individu merupakan aktor rasional (mempertimbangkan cost and benefit).
Gerakan sosial akan terjadi dan mampu bertahan dengan mobiliasi sumber daya
(material dan nonmaterial) yang ada di dalam organisasi.
Di
sektor swasta, strategi mobilisasi sumber daya ialah bagian dari rencana bisnis
dan sifatnya berorientasi laba. Di sektor publik, strategi mobilisasi sumber
daya diarahkan untuk menjamin kesinambungan proyek. Strategi mobilisasi sumber
daya tidak selalu masuk dalam rencana proyek. Terkadang dimasukkan dalam bab
seperti rencana finansial, atau bahkan tidak muncul sama sekali dalam rencana
proyek apabila pendanaan telah diperoleh. Namun, ini adalah langkah penting
dalam siklus proyek. Mobilisasi sumber daya adalah salah satu pertimbangan awal
yang perlu dipikirkan dalam menyusun proyek. Langkah-langkah dalam menyusun strategi
mobilisasi sumber daya ialah :
1.
Mengidentifikasi
dan menghitung sumber daya yang diperlukan dan menjelaskan mengapa mereka
dibutuhkan. Sebuah anggaran mungkin cukup, bersama dengan narasi tentang
butir-butir di dalam anggaran serta pentingnya dalam pelaksanaan.
2.
Menjelaskan
bagaimana sumber daya akan diperoleh. Mengidentifikasi mitra potensial atau
kolaborator yang akan menyediakan sumber daya.
3.
Menjelaskan
bagaimana mitra atau kolaborator akan berkontribusi terhadap proyek.
Justifikasi pemilihan mitra atau kolaborator serta peran dan kontribusi mereka.
4.
Mengidentifikasi
bagaimana mitra akan didekati dan bagaimana komunikasi dengan mereka akan
dibangun.
5.
Mendiskusikan
dan meninjau berbagai opsi. Mengkaji dan menjustifikasi pilihan.
6.
Menyusun
rekomendasi.
7.
Mendekati
mitra-mitra potensial, menyusun proposal, dan menilai minat mereka.
8.
Negosiasi
perjanjian dan menyesuaikan proposal proyek.
9.
Menyetujui
dan menandatangani perjanjian untuk melaksanakan proyek.
Sumber
daya yang digunakan dalam kegiatan program secara umum meliputi alam, fisik,
keuangan, manusia, dan sumber daya sosial seperti penyediaan ruang kantor, staf
yang diperbantukan, atau partisipasi partner di rapat dewan. Mobilisasi
sumberdaya juga merupakan proses dimana sumber daya diminta oleh program dan
disediakan oleh donor dan mitra. Kebanyakan program sektor publik, yang
biasanya menyediakan barang dan jasa (termasuk sumber daya keuangan) kepada
penerima manfaat pada hibah atau dalam bentuk dasar.
Proses
memobilisasi sumber daya dimulai dengan formulasi strategi mobilisasi sumber
daya, yang mungkin termasuk strategi terpisah untuk memobilisasi sumber daya
keuangan dan dalam bentuk barang. Melakukan strategi mobilisasi sumber daya
keuangan meliputi berikut ini langkah: mengidentifikasi potensi sumber dana,
secara aktif meminta Janji, menindaklanjuti janji untuk mendapatkan dana,
deposito ini dana, dan merekam transaksi dan pembatasan pada mereka gunakan.
Proses ini biasanya diatur oleh perjanjian hukum
Berbicara
mengenai Study Of Social Movements, dewasa ini, kita menyaksikan meluasnya
gerakan-gerakan perlawanan masyarakat
atau gerakan sosial (social movements)
dalam upaya menentang dan mendorong perubahan kebijakan publik, perubahan
politik dan sosial
secara luas, baik
di tingkat lokal,
nasional, maupun global. Perlawanan-perlawanan semacam ini
bukan saja terjadi di negara-negara yang tergolong masih menerapkan sistem politik
otoritarian, transisional, dan
tingkat ekonomi bangsa
yang masih terbelakang dan
berkembang (Asia, Amerika Latin, dll), akan tetapi juga terjadi di
negara-negara yang selama ini tergolong maju dan demokratis (Amerika, Eropa
Barat, dll).
Di Indonesia,
misalnya, tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru Soeharto Mei 1998 kiranya tidak bisa
dilepaskan dari peran
gerakan sosial, khususnya
gerakan mahasiswa, yang
pada gilirannya menghantarkan bangsa ini ke dalam kondisi yang lebih
demokratis (Denny JA, 2006). Gerakan kaum muda ini sesungguhnya telah diawali
oleh gerakan-gerakan pro-demokrasi sejak tahun
1970-an, seperti gerakan
petani, buruh, masyarakat
adat, kaum miskin
kota, pers, partai politik, dan kelompok-kelompok
intelektual dan cendekiawan, dan sebagainya. Dengan kata lain,
perlawanan-perlawanan sporadis dan
temporer ini telah
menciptakan prakondisi bagi
gerakan mahasiswa yang diibaratkan
berada pada posisi
“di puncak sebuah
gelombang”, sehingga memungkinkan
bagi mereka mencapai “garis finish” (Budiman dan Törnquist, 2001).
Gerakan sosial
berbeda dengan berbagai
bentuk aksi massa
seperti kerumunan dan kerusuhan, pemberontakan, dan
revolusi, dan sebagainya.
Kerumunan (crowd) merupakan aksi massa yang tidak memiliki sebentuk
organisasi, sangat cair, meletup dan hilang secara tiba-tiba. Kerusuhan (riot) adalah kekacauan massal yang
meletup secara tiba-tiba, dalam periode singkat, melakukan perusakan
atau menyerang kelompok
tertentu. Bedanya dengan
kerumunan ialah bahwa kerusuhan
selalu menggunakan
kekerasan. Pemberontakan (revolt) merupakan
aksi terorganisir untuk menentang
atau memisahkan diri
dari sistem dan
otoritas yang dianggap mapan.
Sedangkan
revolusi (revolution)
mengandaikan partisipasi seluruh
masyarakat dalam keseluruhan wilayah
suatu negara untuk
menggulingkan dan menggantikan
tatanan politik dengan suatu
yang baru. Revolusi,
dalam pengertian ini,
merupakan upaya menyusun
kembali tatanan sosial, politik, dan ekonomi, dengan memasukkan
perubahan fundamental dalam struktur masyarakat (Singh, 2001: 29-37).
Gerakan sosial,
menurut Singh, biasanya
merupakan mobilisasi untuk
menentang negara dan sistem
pemerintahannya, yang tidak
selalu menggunakan kekerasan
dan pemberontakan
bersenjata, sebagaimana terjadi
dalam kerusuhan, pemberontakan, dan
revolusi. Menurutnya, umumnya gerakan
sosial menyatakan dirinya
di dalam kerangka
nilai demokratik (Singh,
2001: 36-37).
Tarrow (1998:
4-5) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok
orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi
yang berkelanjutan dengan kelompok
elite, lawan, dan
penguasa. Di sini
terdapat empat kata
kunci penting yakni tantangan
kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, dan interaksi berkelanjutan. Sedangkan Wilson
(1973: 9-11) menekankan
“cara-cara yang tidak melembaga” (non-institutionlized means), serta
gerakan ini tidak
ditujukan untuk memperoleh
posisi-posisi kekuasaan (permanent power
position), tetapi sebagai
tawar-menawar untuk memengaruhi pembuat kebijakan (decision makers) mengambil solusi yang
menguntungkan bagi mereka.
Della Porta
dan Diani (1999:
13-16) menawarkan sedikitnya
empat karakteristk utama gerakan
sosial, yakni: (1)
jaringan interaksi informal;
(2) perasaan dan
solidaritas bersama; (3) konflik sebagai fokus aksi kolektif; (4)
mengedepankan bentuk-bentuk protes. Dengan kata lain, gerakan sosial merupakan
jaringan-jaringan informalyang mendasarkan diri pada perasaan dan
solidaritas bersama, yang
bertujuan untuk memobilisasi
isu-isu konfliktual, melalui
berbagai bentuk protes yang dilakukan secara terus-menerus. Hal-hal ini pula yang membedakan gerakan
sosial dengan gerakan
yang dilakukan oleh
partai politik, kelompok
kepentingan, sekte-sekte agama,
protes sesaat, atau koalisi politik sesaat.
Pada
kesimpulannya, mobilisasi sumber daya dan gerakan sosial dalam perubahan
ekonomi dan sosial memiliki peran yang sangat besar. Hal ini agar terwujudnya
perubahan sistem dan birokrasi serta organisasi di suatu negara ke arah yang
lebih baik dan menciptakan sejarah baru dalam suatu sistem yang sudah lama
terbentuk dan sudah diketahui kelemahannya. Dengan konsep the right man on the
right place, akan memberikan pemahaman bahwa mobilisasi sumber daya dan gerakan
sosial akan menciptakan kolektivitas orang-orang didalamnya untuk membawa atau
menentang perubahan.
Mobilisasi
sumber daya dan gerakan sosial seringkali tidak berwujud organisasi formal,
namun dapat pula merupakan bagian dari organisasi. Sehingga tidak mengherankan
apabila di dalam organisasi terdapat kelompok-kelompok yang saling bertentangan
dan masing-masing mewujudkan dirinya dalam bentuk mobilisasi sumber daya dan gerakan
sosial. Namun yang jelas sebagai sebuah aktivitas ekonomi dan sosial
kemasyarakatan tidak berhenti pada suatu titik, akan selalu datang susul
menyusul dari satu gerakan ke gerakan lain. Semua itu bisa terjadi karena,
sifat masyarakat sendiri yang terus berubah. Perubahan itu terjadi karena arus
baru dalam diri masyarakat itu sendiri yang menginginkan perubahan.
Daftar Pustaka
Denny JA.
2006. Democratization from
Below: Protest Events
and Regime Change
in Indonesia 1997-1998,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jenkins, J
Craig. 1995. “Social Movements, Political
Representation, and the State: An Agenda and Comparative Framework”, dalam
J Craig Jenkins dan Bert Klandermans (Eds), The
Politics of Social Protest: Comparative
Perspective on States
and Social Movements, Minneapolis: University of Minnesota Press.
Klandermans,
Bert. 1997. The Social Psychology of
Protest, Oxford/Cambridge, MA: Blackwell.
Manalu, Dimpos.
2006. Gerakan Sosial dan Perubahan
Kebijakan Publik, Center of Population and Policy Studies : Gadjah Mada
University.
McAdam, Doug,
John D McCarthy, dan Mayer N Zald (Eds.). 1996.
Comparative Perspectives on
Social Movements: Political
Opportunities, Mobilizing Structures,
and Cultural Framing, Cambridge/New York: Cambridge
University Press.
________, Doug,
Sidney Tarrow, dan
Charles Tilly. 1997.
”Toward an
Integrated Perspective on Social
Movements and Revolution”, dalam
Mark Irving Lichbach
dan Alan S. Zuckerman (Eds.), Comparative Politics:
Rationality, Culture, and
Structure, Cambridge: Cambridge University Press, hal 142-173.
Satria, Galih, dkk. 2015. Teori dan
Fakta Mobilisasi Sumber Daya Dalam Negeri di Negara-Negara Afrika dan India
dalam paper Mata Kuliah Pendanaan Pembangunan, Magister Ilmu Ekonomi :
Universitas Jenderal Soedirman. Materi tidak dipublikasikan.
Singh, Rajendra.
2001. Social
Movements, Old and
New: A Post-Modernist Critique,
New Delhi/Thousand Oaks/London: Sage Publications.
Tarrow, Sidney.
1998. Social Movements and
Contentious Politics, Cambridge:
Cambridge University Press.
Wilson, John.
1973. Introduction to Social Movements,
New York: Basic Books, Inc.
0 comments